SAVE EARTH

SAVE EARTH
Powered By Blogger

Minggu, 26 Desember 2010

Fosil Di Siberia "Kerabat" Orang Papua

VIVAnews - Sejumlah ilmuwan yang mencoba memecahkan sandi DNA sebuah fosil keluarga manusia yang ditemukan di Siberia, Rusia, terperanjat. Lima persen DNA orang Melanesia yang mendiami Papua dan Australia itu ditemukan di makhluk yang dijuluki "Denisovans" itu.

"Kami kira ini kesalahan ketika pertama melihatnya," kata David Reich, peneliti dari Harvard University, yang menulis laporan ilmiah ini. "Namun ini nyata," katanya dilansir the Associated Press, Rabu 22 Desember 2010.

Lebih aneh lagi, fosil itu justru tak menunjukkan sama sekali kaitan dengan nenek moyang orang yang sekarang mendiami Siberia. Padahal, lebih dari 30 ribu tahun lalu, "Denisovans" malang melintang di benua Asia.

Laporan mengenai kaitan "Denisovans" dengan ras Melanesia ini merupakan laporan kedua setelah laporan yang menyimpulkan terjadi perkawinan silang manusia (homo sapiens) dengan Neanderthal di Timur Tengah, sesaat setelah nenek moyang manusia keluar dari Afrika namun sebelum mendiami Eurasia (kawasan antara Asia dan Eropa).

Sementara untuk "Denisovans" kemungkinannya terjadi kawin campur dengan nenek moyang orang Papua yang bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 45 ribu tahun lalu. Namun para ahli masih melanjutkan penelitian lebih jauh soal genom "Denisovans" ini. Todd Disotell dari New York University menyatakan, mereka harus mencari petunjuk jejak warna kulit dan matanya.

"Kami akan merinci gambaran orang ini dalam beberapa tahun ke depan berdasarkan genom ini," katanya.

Keberadaan sanak manusia ini terungkap sembilan bulan lalu berdasarkan sampel DNA yang diselamatkan dari sebuah tulang jari yang ditemukan di Gua Denisova di selatan Siberia. Para peneliti lalu menggunakan Denisovans untuk genom itu, meski belum diketahui apakah mereka merupakan spesies terpisah dengan manusia (homo sapiens).

Namun genom yang ditemukan telah membuktikan Denisovans lebih berkerabat dekat dengan Neanderthals daripada manusia modern. Temun ini mengindikasikan bahwa keduanya muncul dari sebuah nenek moyang yang sama.

Ilmuwan belum tahu seperti apa perawakan Denisovans ini. Namun dari sebuah temuan geraham atas Denisovans di gua itu, ukuran dan bentuknya berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern, yang sama-sama pernah hidup seperiode dengan mereka.

David Reich menyatakan, jari dan gigi itu belum ditentukan tanggalnya, namun berdasarkan temuan tulang binatang di sekitarnya, diperkirakan lebih dari 30 ribu atau bahkan 50 ribu tahun yang lalu. Dan mereka atau nenek moyang mereka diduga kawin-mawin dengan nenek moyang manusia modern yang merantau ke Papua pada 45 ribu tahun lalu.

Namun, menurut Reich, aneh jika perjalanan nenek moyang orang Papua melewati Siberia untuk sampai ke Papua. Kemungkinannya adalah Denisovans ini yang melanglang Asia termasuk sampai ke selatan.

"Jelas sekali mereka menyebar di Asia," katanya. Dan ini butuh penelitian DNA warga Asia yang terisolasi lama.

Sementara itu, Rick Potts, Direktur Program Asal-usul Manusia di Smithsonian Institution, berpendapat, penemuan gen Denisovans ini memperkuat dugaan mereka berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern. Meski ditemukan DNA Melanesia di Denisovans, Potss berpendapat bukan karena perkawinan campur namun karena DNA dari nenek moyang itu yang bertahan pada mereka namun hilang di populasi manusia modern umumnya.

Penemuan ini membuat teori yang dikemukakan ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen Oppenheimer, menemukan basis. Dalam bukunya, Eden in The East, Oppenheimer mengemukakan teori Sundaland merupakan pusat peradaban.

Menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan sundaland atau Indonesia. Oppenheimer menceritakan, niatnya meneliti ini dimulai dari komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini.

Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia.

Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.

Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam.

"Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya," ujar dia. Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Rabu, 22 Desember 2010

2032 Ikan Terbang Bisa Musnah


VIVanews - Bila tidak dilestarikan dengan baik, jenis ikan terbang di Indonesia pada 2032 akan musnah. Indikasi ini bisa dilihat dari semakin menurunnya jumlah jenis ikan yang banyak ditemui di perairan Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun.

Demikian diungkapkan Dr.Augy Syahailatua, Kepala Bidang Sumber Daya Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Diskusi FORWARA (Forum Wartawan Kesra) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) Jum'at (3/4).

Augy yang putra daerah Maluku ini mengatakan, penduduk di pesisir Sulawesi Selatan selama ini memang dikenal memburu ikan terbang, tapi yang paling diburu sebenarnya adalah telurnya. Para nelayan tersebut bahkan sampai ke Papua Barat untuk mencari telur ikan terbang.

Mereka jumlahnya tidak hanya dihitung dengan jari, akan tetapi puluhan kapal yang memburu telur ikan terbang tersebut. "Hitung saja, bila dalam satu kapal itu ada lima orang. Berapa banyak yang pergi untuk memburu telur ikan terbang," ungkap Augy Syahailatua.

Sementara itu, Abdul Halim, peneliti dari The Nature Conservancy (TNC) Coral Triangle Center (CTC) berpandangan, guna menghindari degradasi ekosistem laut perlu peningkatan peran pemerintah daerah.

Artinya, bagaimana pemerintah daerah melalui lembaga terkait memiliki program-program konservasi sumber daya laut di daerahnya. Peran masyarakat lokal juga begitu perlu.

Oleh karenanya TNC CTC senantiasa mensosialisasikan betapa perlunya menjaga kelestarian ekosistem laut pada masyarakat pesisir. Diharapkan, pemerintah daerah juga bisa berbuat demikian.

Ditemukan Bintang Sekarat Masuk Ke Bima Sakti


VIVAnews - Penemuan planet yang mengorbit sebuah bintang di dalam galaksi Bima Sakti bukanlah hal yang baru. Akan tetapi, jika bintang dan planet-planet yang ditemukan ternyata lahir dari galaksi yang jauh dari Bima Sakti, ini merupakan temuan menarik.

Sebagai contoh adalah HIP13044b. Planet ini merupakan planet pertama yang terdeteksi hadir di galaksi Bima Sakti, namun lahir di luar galaksi kita. Planet berukuran setidaknya 1,25 kali Jupiter tersebut mengorbit pada sebuah bintang yakni HIP13044, sebuah bintang raksasa yang hampir mati.

HIP13044, sebelumnya tergabung dalam kelompok bintang yang disebut Helmi stream, sebuah galaksi kecil yang ‘dimakan’ oleh Bima Sakti sekitar enam sampai sembilan miliar tahun yang lalu.

“Penemuan ini merupakan bagian dari penelitian di mana kami mencari planet yang mengorbit bintang yang berada di penghujung hidupnya,” kata Johnny Setiawan, astronom dari Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), seperti dikutip dari Guardian, 22 November 2010.

Saat ini, HIP13044 berada di sekitar 2 ribu tahun cahaya dari Bumi. Astronom menemukan bintang tersebut menggunakan spektograf yang disambungkan dengan teleskop berukuran 2,2 meter di La Silla Observatory di Chile.

“Penemuan ini juga menarik karena dapat menggambarkan masa depan dari sistem planet kita, karena Matahari juga akan mengalami kematian dalam waktu sekitar 5 miliar tahun yang akan datang,” ucapnya.

Peneliti menyebutkan, planet HIP13044b sendiri relatif dekat ke bintang yang ia edari. Jarak terdekat dengan mataharinya hanya 0,055 kali jarak antara Bumi dan Matahari dan hanya perlu 16 hari untuk menyelesaikan rotasi.

Adapun bintang yang menjadi mataharinya telah melewati fase raksasa merah di mana ia membengkak berkali lipat dari ukuran aslinya akibat kehabisan hidrogen. Nasib yang sama akan dialami Matahari milik kita dalam beberapa miliar tahun ke depan.

“Bintang itu juga berotasi dengan cepat,” kata Setiawan. “Satu penjelasannya adalah karena HIP13044 menelan planet-planet terdekat saat memasuki fase raksasa merah. Itu membuat bintang tersebut berputar lebih cepat lagi,” ucapnya.

Meski demikian, kata Setiawan, masih ada yang belum dapat dijelaskan bagaimana planet mengorbiti bintang yang hanya punya sedikit elemen kimia di luar hidrogen dan helium bisa terbentuk, padahal hanya sedikit material pembentuk planet yang tersedia. Sampai saat ini, hanya sedikit planet yang didapati mengorbiti bintang seperti HIP13044.

“Pembentukan planet seperti HIP13044b masih merupakan teka-teki yang masih perlu diteliti,” kata Setiawan. “Planet di sekitar bintang seperti itu pastinya terbentuk dengan cara yang berbeda dengan terbentuknya planet biasa,” ucapnya.

Danau Toba Pemusnah Manusia?

VIVAnews - Letusan Gunung Toba yang melontarkan jutaan metrik ton debu volkanik, sulfur, dan partikel-partikel lain ke atmosfir pada 74 ribu tahun yang lalu disebut-sebut menyebabkan penggelapan langit, penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan sebagian besar umat manusia.

Ternyata, dari penelitian terbaru, efek cuaca yang disebabkan letusan Toba lebih ringan dan reda relatif lebih cepat dibanding perkiraan yang dibuat oleh pada arkeolog dan klimatolog sebelumnya. Manusia yang mengalami bencana letusan Toba itu diperkirakan berhasil melewatinya dengan selamat.

Meski dari sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa letusan Toba yang kini meninggalkan danau volkanik terbesar di dunia itu menggelapkan dan membekukan dunia, menggunakan data letusan gunung Pinatubo, Filipina tahun 1991, Stephen Self, volkanologis dari Open University, Milton Keynes, Inggris dan Michael Rampino, paleobiologis dari New York University, menyatakan bahwa efek pendinginan suhu akibat letusan Toba hanya mencapai 3 sampai 5 derajat saja.

Berdasarkan data yang didapat dari situs arkeologi di India, tim antropolog University of Oxford, Inggris, yang dipimpin oleh Michael Petraglia menyebutkan bahwa manusia yang tinggal tidak jauh dari zona letusan justru malah berhasil melewati bencana tersebut dengan mudah.

Untuk mencari titik terang, tim peneliti yang dipimpin oleh Claudia Timmreck, dari Max-Planck Institute for Meteorology di Hamburg, Jerman membuat pemodelan yang mampu menggambarkan lebih realistis (meski metode ini juga memiliki beberapa kekurangan) apa yang terjadi saat Toba meletus.

Peneliti fokus ke bagaimana partikel sulfate aerosol yang terbentuk di stratosfir akibat letusan sulfur dioksida yang mengandung gas mendinginkan atmosfir dengan cara memantulkan sinar matahari. Dari data yang didapat, dan disesuaikan dengan asumsi yang sudah dibuat sebelumnya, diketahui bahwa Toba mengirimkan sekitar 850 juta metrik ton sulfur ke atmosfir. Angka ini 100 kali lebih banyak dibanding setoran gunung Pinatubo ke atmosfir.

Dari simulasi juga diketahui bahwa dampak Toba memang hanya menurunkan suhu sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius di seluruh dunia. Akan tetapi, konsentrasi sulfur tidaklah padat dan segera hilang dari stratosfir selama 2 sampai 3 tahun saja. Perubahan temperatur secara ekstrim yang terjadi di Afrika dan India hanya berlangsung selama 1 sampai 2 tahun. Di kawasan ini, di tahun pertama suhu turun 10 derajat dan 5 derajat di tahun kedua.

Menurut Timmreck, seperti dikutip dari ScienceMag, 25 November 2010, Toba juga tidak memusnahkan flora dan fauna. Namun Timmreck mengakui, kehidupan di masa-masa tersebut memang sulit.

Michael Petraglia berpendapat, Toba memang bukanlah penyebab utama anjloknya jumlah populasi manusia di era tersebut. Akan tetapi Toba membuat situasi menjadi makin parah. Langkah selanjutnya, kata Petraglia, peneliti masih harus melanjutkan hasil temuan simulasi tersebut dengan observasi langsung di kawasan sekitar Toba untuk mengetahui secara lebih akurat dampak lingkungan yang terjadi. (umi)