SAVE EARTH

SAVE EARTH
Powered By Blogger

Senin, 15 November 2010

Letusan Bintik Matahari Mengancam Bumi


VIVAnews - Kabar tak menyenangkan lagi-lagi datang dari ranah astronomi. Akhir minggu lalu, salah satu bintik matahari baru saja erupsi alias meletus dan menyemburkan korona dalam jumlah besar atau disebut sebagian orang sebagai badai matahari.

Adakah dampaknya terhadap bumi? Ada. Tetapi, siapa pun berharap hal itu tidak terjadi.

Jika Anda pernah mendengar berita tentang prediksi badai matahari yang terjadi di tahun 2013 nanti dan akan melumpuhkan seluruh aktivitas di bumi, kurang lebih apa yang terjadi akhir minggu lalu juga demikian. Akan tetapi, skalanya kali ini kemungkinan tidak sebesar perkiraan sebelumnya.

Pada gambar korona, atau cahaya semu di sekitar matahari, yang tertangkap oleh Solar and Heliospheric Observatory (SOHO) dan pesawat ruang angkasa kembar milik NASA, STEREO, nampak awan gas meletus keluar dari bintik matahari 1123 di sekitar bagian selatan matahari pada Jumat dini hari waktu setempat.

Letusan itu telah diklasifikasikan ilmuwan sebagai bintik surya C-4. Sayangnya, material yang "dimuntahkan" erupsi tersebut mengarah lurus ke arah bumi dengan kecepatan nyaris mendekati 500 kilometer per jam.

NASA memperkirakan awan gas tersebut akan sampai ke atmosfer bumi sekitar dua-tiga hari sejak Jumat, atau sekitar hari Minggu atau Senin waktu setempat (Florida, Amerika Serikat). "Pengamat lintang astronomi harus mewaspadai adanya aurora pada hari-hari tersebut," tutur NASA dalam keterangannya, yang dikutip VIVAnews dari TG Daily, Senin 15 November 2010.

Kabar baiknya, kali ini hanya sebagian kecil titik api yang cukup kuat untuk menghasilkan badai matahari. Namun, jika jumlah materinya cukup besar, yang mana kebanyakan mengandung proton dan elektron, tentu saja mampu menghasilkan medan magnet dan radiasi elektromagnetik ke ruang angkasa.

Hasilnya, radiasi yang muncul kemudian merusak seluruh gelombang elektromagnetik di bumi dan membuat bencana besar.

Bisakah Anda membayangkan bumi tanpa telekomunikasi? Hampir seluruh alat transportasi massal akan lumpuh, mulai dari kereta api, MRT, subway, dan tentu saja pesawat terbang.

Segala bentuk navigasi yang berbasis GPS dan berhubungan dengan satelit akan terkena imbas. Jaringan mobile dan radio akan lenyap. Dan, kemungkinan terburuk yang terjadi: beberapa hari ke depan kita hidup tanpa listrik.

Asteroid Dapat Lubangi Ozon

VIVAnews - Dari penelitian terakhir, jatuhnya asteroid di salah satu samudra mampu memicu siklus kimia merusak yang akan menghapus separuh lapisan ozon planet Bumi.

Hilangnya perlindungan secara besar-besaran dari radiasi ultraviolet matahari berpotensi memaksa manusia hidup bak vampir. Hanya bisa ke luar ruangan setelah matahari terbenam.

Skenario terbruk dari tumbukan asteroid berukuran 1 kilometer akan membuat lubang di lapisan ozon, seperti yang pernah muncul di Antartika selama tahun 1990an. Bedanya, kerusakan ozon akibat tumbukan asteroid akan terjadi secara global. Dari simulasi yang dilakukan, radiasi berlebihan sinar ultraviolet akibat kerusakan ozon itu bisa berlangsung selama 2 tahun.

“Jatuhnya asteroid ke samudera selalu dianggap membahayakan negara-negara yang terletak di pesisir, tetapi tidak banyak yang menelitinya lebih lanjut,” kata Elisabetta Pierazzo, peneliti senior di Planetary Science Institute di Tucson, Arizona, Amerika Serikat.

Saat ini, kata Pierazzo, seperti dikutip dari Livescience, 15 November 2010, kami mencari tau seputar bahaya jatuhnya asteroid terhadap cuaca di Bumi.

Metode penelitian
Untuk mengetahuinya, Pierazzo mengombinasikan pengetahuan yang ia miliki dengan simulasi yang dikembangkan oleh ilmuwan Amerika dan Jerman lainnya yang dapat menunjukkan model interaktif dari zat kimia di atmosfir. Uji coba dilakukan dengan simulasi tumbukan asteroid berukuran 500 meter dan 1 kilometer di lokasi dan musim tertentu di Bumi.

Hasilnya, tumbukan asteroid akan merusak ozon karena asteroid akan memuncratkan air laut hingga ke bagian tertinggi dari atmosfir. Zat kimia seperti chloride dan bromide yang terpisah dari uap air kemudian akan merusak lapisan ozon yang melindungi mahluk hidup di Bumi dari mutasi yang diakibatkan sinar ultraviolet.

“Yang jadi masalah, tumbukan asteroid akan melontarkan uap air hingga ratusan kilometer ke udara,” kata Pierazzo. “Uap air akan menembus lapisan tertinggi dari atmosfir,” ucapnya.

Model yang dibuat menunjukkan, asteroid berukuran 500 meter yang menabrak di sekitar 30 derajat ke utara samudera pasifik di bulan Januari akan berdampak ‘lokal’ terhadap lapisan ozon. Lokal di sini artinya adalah lubang ozon akan terjadi di seluruh kawasan utara Bumi. Jika asteroid yang menabrak berdiameter 1 kilometer, maka lapisan pelindung ultraviolet secara global yang akan rusak.

Lokasi di mana asteroid jatuh juga penting karena berpengaruh dengan pola sirkulasi atmosfir. Demikian pula dengan waktu karena ketebalan lapisan ozon di atmosift terus berubah setiap musim, tergantung dengan banyaknya cahaya matahari yang menyinarinya.

Tumbukan asteroid berukuran 500 meter akan memicu radiasi ultraviolet hingga 20 UVI (ultraviolet index). Sebagai gambaran, radiasi berukuran 10 UVI dapat membakar kulit dalam hitungan menit. Adapun ukuran radiasi ultraviolet tertinggi di sekitar katulistiwa hanya mencapai level 18. Adapun radiasi UV tertinggi yang tercatat sempat terjadi di gurun pasir tinggi di Puna de Atacama, Argentina. Di sana radiasi UV mencapai 20.

Tabrakan asteroid berukuran 1 kilometer akan meningkatkan nilai UVI di atas 20 di dalam jarak 50 derajat ke utara dan selatan katulistiwa selama sekitar 2 tahun. Beberapa tempat di kawasan tersebut akan mengalami lonjakan UVI hingga mencapai 56. Kawasan yang akan terimbas bila asteroid jatuh di sekitar katulistiwa bisa mencapai Seattle dan Paris di utara dan Chili serta Argentina di selatan Bumi.

Efek jangka panjang dari radiasi UV tinggi tersebut akan membuat kulit manusia menjadi merah, perubahan dalam perkembangan tumbuhan, dan mutasi genetik dari manusia dan organisme lain.

Ancaman yang siap menghadang
Skenario yang diuji oleh Pierazzo dan timnya merupakan skenario yang paling mungkin terjadi pada Bumi. Asteroid berpotensi lebih besar jatuh di perairan dibandingkan dengan di daratan. Alasannya, 70 persen dari permukaan Bumi adalah perairan dan dua pertiga di antaranya memiliki kedalaman air hingga lebih dari 1 mil.

Sampai 1 Oktober lalu, astronom telah menemukan 903 dari perkiraan sekitar 1.050 near earth objects (NEO) atau benda angkasa berterbangan di sekitar Bumi yang memiliki diameter 1 kilometer atau lebih. Diperkirakan, masih ada sekitar 100 benda langit lainnya yang berkuruan 1 sampai 2 kilometer yang belum ditemukan.

Yang lebih mengkhawatirkan, NEO berukuran lebih dari 1 kilometer jumlahnya lebih banyak lagi. Saat ini, NASA baru menemukan sekitar 5 persen dari perkiraan NEO kecil tersebut. Artinya, masih ada puluhan ribu NEO berukuran di bawah 1 kilometer yang belum ditemukan.

Saat NASA terus mencari NEO yang dapat mengancam Bumi, Pierazzo dan timnya akan melanjutkan penelitian bagaimana dampak tumbukan asteroid ke daratan. “Simulasi dengan skenario ini mungkin akan lebih sulit dibuat karena kombinasi debu yang akan memblokir sinar matahari dan bagaimana efek partikel mineral lainnya yang ada di tanah akan mempengaruhi ozon,” ucap Pierazzo.

Peneliti juga memperkirakan bahwa dampak asteroid menghantam daratan akan berefek serupa dengan apa yang terjadi dengan Bumi jika terjadi perang nuklir. Dari penelitian sebelumnya, perang nuklir regional sekalipun dapat menghadirkan lubang ozon yang sangat besar di seluruh dunia.

Rabu, 10 November 2010

Lagi, Diperkirakan Akan Terjadi Ledakan Supernova

VIVAnews - Sebuah bintang bernama T Pyxidis siap meledak dengan kekuatan setara 20 miliar miliar miliar megaton bahan peledak TNT. Menurut para ilmuwan, ledakan dahsyat (supernova) tersebut bisa melenyapkan Bumi dari Galaksi Bimasakti.

Seperti dikutip dari laman harian Telegraph, Rabu 6 Januari 2010, meski bintang tersebut ditaksir berjarak sekitar 3.260 tahun cahaya, ledakan dari termonuklir bisa menghapus lapisan ozon Bumi. Dalam konteks galaksi, jarak 3.260 tahun cahaya itu terhitung dekat.

Para pakar astronomi dari Villanova University, Philadelphia, Amerika Serikat, mengatakan bahwa satelit penjelajah, International Ultraviolet Explorer, menunjukkan T Pyxidis memiliki dua bintang yang salah satunya disebut kurcaci putih yang menyedot gas dan terus membesar. Saat si kurcaci putih itu mencapai massa tertentu, maka dia akan meledak dengan sendirinya menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil kecil.

Ledakan itu akan sama terangnya dengan bintang-bintang lain di galakasi ini yang dikumpulkan. Teleskop angkasa luar Hubble telah mengambil gambar bintang yang sedang bersiap melakukan ledakan maha dahsyat (bing bang) dengan serangkaian ledakan yang lebih kecil yang disebut "nova."

Ledakan semacam ini terjadi secara teratur setiap 20 tahun sekali sejak 1890, tetapi berhenti setelah tahun 1967. Jadi, kata ilmuwan Edward M Sion, Patrick Godon, dan Timothy McClain dari American Astronomical Society di Washington, Amerika Serikat, ledakan berikutnya diperkirakan akan terjadi dalam kurun 20 tahun ke depan.

Robin Scagell, wakil presiden Society for Popular Astronomy, Inggris, mengatakan, "Bintang itu kemungkinan akan segera menjadi supernova.

Misteri Gelembung Radiasi Bima Sakti


IVAnews - Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) baru-baru ini menemukan dua gelembung radiasi misterius yang berada di pusat galaksi Bima Sakti.

Adalah teleskop luar angkasa Fermi yang telah menemukan dua gelembung besar yang timbul dari pusat galaksi Bima Sakti tersebut. Teleskop menunjukkan bahwa gelembung berisi radiasi sinar Gamma dan sinar-x tersebut, membesar masing-masing hingga 25 ribu tahun cahaya ke atas dan bawah cakram galaksi.

Diperkirakan, masing-masing gelembung radiasi di tiap sisi galaksi mengandung energi sekitar 100 ribu kali ledakan supernova. "Gelembung-gelembung itu berukuran sangat besar," kata Doug Finkbeiner, pemimpin peneliti dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, yang menemukan gelembung itu, kepada New York Times.

Hingga kini bola energi itu masih diselimuti kabut misteri. Para ilmuwan masih belum berhasil mengidentifikasinya. Salah satu kemungkinan, seperti dilansir oleh situs Wired, gelembung itu disebabkan oleh adanya lubang hitam supermasif di pusat galaksi.

Dengan bobot yang diperkirakan lebih dari 4 juta kali massa matahari itu, lubang hitam tersebut dapat menyebabkan ledakan energi yang berbahaya bila materi yang mengelilinginya, jatuh ke dalam lubang hitam.

Ilustrasi gelembung radiasi di sekitar pusat galaksi Bima Sakti

Kemungkinan lainnya, gelembung itu disebabkan oleh ledakan bintang pada inti galaksi. Ledakan bintang semacam ini disebabkan oleh pelepasan energi oleh ledakan supernova dan angin antariksa, yang biasanya mengikuti sebuah episode dari formasi bintang. Diperkirakan ini terjadi sekitar 10 juta tahun yang lalu.

David Spergel, seorang pakar astrofisika dari Princeton, mengaku heran, karena gelembung yang besarnya nyaris menyamai galaksi Bima Sakti sendiri baru ditemukan belakangan.

"Gelembung ini menunjukkan bahwa aktivitas alam semesta ini penuh dengan kejutan," kata Kepala tim Astrofisika NASA Jon Morse.

Apapun itu, yang pasti gelembung ini ditargetkan akan dapat diselidiki lebih lanjut oleh instrumen baru, termasuk oleh pesawat luar angkasa Planck (yang diluncurkan 2009), dan teleskop sinar-x eROSITA yang bakal diluncurkan pada 2012.