SAVE EARTH

SAVE EARTH
Powered By Blogger

Minggu, 26 Desember 2010

Fosil Di Siberia "Kerabat" Orang Papua

VIVAnews - Sejumlah ilmuwan yang mencoba memecahkan sandi DNA sebuah fosil keluarga manusia yang ditemukan di Siberia, Rusia, terperanjat. Lima persen DNA orang Melanesia yang mendiami Papua dan Australia itu ditemukan di makhluk yang dijuluki "Denisovans" itu.

"Kami kira ini kesalahan ketika pertama melihatnya," kata David Reich, peneliti dari Harvard University, yang menulis laporan ilmiah ini. "Namun ini nyata," katanya dilansir the Associated Press, Rabu 22 Desember 2010.

Lebih aneh lagi, fosil itu justru tak menunjukkan sama sekali kaitan dengan nenek moyang orang yang sekarang mendiami Siberia. Padahal, lebih dari 30 ribu tahun lalu, "Denisovans" malang melintang di benua Asia.

Laporan mengenai kaitan "Denisovans" dengan ras Melanesia ini merupakan laporan kedua setelah laporan yang menyimpulkan terjadi perkawinan silang manusia (homo sapiens) dengan Neanderthal di Timur Tengah, sesaat setelah nenek moyang manusia keluar dari Afrika namun sebelum mendiami Eurasia (kawasan antara Asia dan Eropa).

Sementara untuk "Denisovans" kemungkinannya terjadi kawin campur dengan nenek moyang orang Papua yang bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 45 ribu tahun lalu. Namun para ahli masih melanjutkan penelitian lebih jauh soal genom "Denisovans" ini. Todd Disotell dari New York University menyatakan, mereka harus mencari petunjuk jejak warna kulit dan matanya.

"Kami akan merinci gambaran orang ini dalam beberapa tahun ke depan berdasarkan genom ini," katanya.

Keberadaan sanak manusia ini terungkap sembilan bulan lalu berdasarkan sampel DNA yang diselamatkan dari sebuah tulang jari yang ditemukan di Gua Denisova di selatan Siberia. Para peneliti lalu menggunakan Denisovans untuk genom itu, meski belum diketahui apakah mereka merupakan spesies terpisah dengan manusia (homo sapiens).

Namun genom yang ditemukan telah membuktikan Denisovans lebih berkerabat dekat dengan Neanderthals daripada manusia modern. Temun ini mengindikasikan bahwa keduanya muncul dari sebuah nenek moyang yang sama.

Ilmuwan belum tahu seperti apa perawakan Denisovans ini. Namun dari sebuah temuan geraham atas Denisovans di gua itu, ukuran dan bentuknya berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern, yang sama-sama pernah hidup seperiode dengan mereka.

David Reich menyatakan, jari dan gigi itu belum ditentukan tanggalnya, namun berdasarkan temuan tulang binatang di sekitarnya, diperkirakan lebih dari 30 ribu atau bahkan 50 ribu tahun yang lalu. Dan mereka atau nenek moyang mereka diduga kawin-mawin dengan nenek moyang manusia modern yang merantau ke Papua pada 45 ribu tahun lalu.

Namun, menurut Reich, aneh jika perjalanan nenek moyang orang Papua melewati Siberia untuk sampai ke Papua. Kemungkinannya adalah Denisovans ini yang melanglang Asia termasuk sampai ke selatan.

"Jelas sekali mereka menyebar di Asia," katanya. Dan ini butuh penelitian DNA warga Asia yang terisolasi lama.

Sementara itu, Rick Potts, Direktur Program Asal-usul Manusia di Smithsonian Institution, berpendapat, penemuan gen Denisovans ini memperkuat dugaan mereka berbeda dengan Neanderthals dan manusia modern. Meski ditemukan DNA Melanesia di Denisovans, Potss berpendapat bukan karena perkawinan campur namun karena DNA dari nenek moyang itu yang bertahan pada mereka namun hilang di populasi manusia modern umumnya.

Penemuan ini membuat teori yang dikemukakan ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University, Inggris, Stephen Oppenheimer, menemukan basis. Dalam bukunya, Eden in The East, Oppenheimer mengemukakan teori Sundaland merupakan pusat peradaban.

Menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut dengan sundaland atau Indonesia. Oppenheimer menceritakan, niatnya meneliti ini dimulai dari komentar tanpa sengaja oleh seorang pria tua di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini.

Dari situ dia mendapati kisah pengusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang diikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenheimer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia.

Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang prasejarah. Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan menenggelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya.

Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Mesopotamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam.

"Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukannya," ujar dia. Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Polinesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara penanaman beras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Rabu, 22 Desember 2010

2032 Ikan Terbang Bisa Musnah


VIVanews - Bila tidak dilestarikan dengan baik, jenis ikan terbang di Indonesia pada 2032 akan musnah. Indikasi ini bisa dilihat dari semakin menurunnya jumlah jenis ikan yang banyak ditemui di perairan Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun.

Demikian diungkapkan Dr.Augy Syahailatua, Kepala Bidang Sumber Daya Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Diskusi FORWARA (Forum Wartawan Kesra) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) Jum'at (3/4).

Augy yang putra daerah Maluku ini mengatakan, penduduk di pesisir Sulawesi Selatan selama ini memang dikenal memburu ikan terbang, tapi yang paling diburu sebenarnya adalah telurnya. Para nelayan tersebut bahkan sampai ke Papua Barat untuk mencari telur ikan terbang.

Mereka jumlahnya tidak hanya dihitung dengan jari, akan tetapi puluhan kapal yang memburu telur ikan terbang tersebut. "Hitung saja, bila dalam satu kapal itu ada lima orang. Berapa banyak yang pergi untuk memburu telur ikan terbang," ungkap Augy Syahailatua.

Sementara itu, Abdul Halim, peneliti dari The Nature Conservancy (TNC) Coral Triangle Center (CTC) berpandangan, guna menghindari degradasi ekosistem laut perlu peningkatan peran pemerintah daerah.

Artinya, bagaimana pemerintah daerah melalui lembaga terkait memiliki program-program konservasi sumber daya laut di daerahnya. Peran masyarakat lokal juga begitu perlu.

Oleh karenanya TNC CTC senantiasa mensosialisasikan betapa perlunya menjaga kelestarian ekosistem laut pada masyarakat pesisir. Diharapkan, pemerintah daerah juga bisa berbuat demikian.

Ditemukan Bintang Sekarat Masuk Ke Bima Sakti


VIVAnews - Penemuan planet yang mengorbit sebuah bintang di dalam galaksi Bima Sakti bukanlah hal yang baru. Akan tetapi, jika bintang dan planet-planet yang ditemukan ternyata lahir dari galaksi yang jauh dari Bima Sakti, ini merupakan temuan menarik.

Sebagai contoh adalah HIP13044b. Planet ini merupakan planet pertama yang terdeteksi hadir di galaksi Bima Sakti, namun lahir di luar galaksi kita. Planet berukuran setidaknya 1,25 kali Jupiter tersebut mengorbit pada sebuah bintang yakni HIP13044, sebuah bintang raksasa yang hampir mati.

HIP13044, sebelumnya tergabung dalam kelompok bintang yang disebut Helmi stream, sebuah galaksi kecil yang ‘dimakan’ oleh Bima Sakti sekitar enam sampai sembilan miliar tahun yang lalu.

“Penemuan ini merupakan bagian dari penelitian di mana kami mencari planet yang mengorbit bintang yang berada di penghujung hidupnya,” kata Johnny Setiawan, astronom dari Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), seperti dikutip dari Guardian, 22 November 2010.

Saat ini, HIP13044 berada di sekitar 2 ribu tahun cahaya dari Bumi. Astronom menemukan bintang tersebut menggunakan spektograf yang disambungkan dengan teleskop berukuran 2,2 meter di La Silla Observatory di Chile.

“Penemuan ini juga menarik karena dapat menggambarkan masa depan dari sistem planet kita, karena Matahari juga akan mengalami kematian dalam waktu sekitar 5 miliar tahun yang akan datang,” ucapnya.

Peneliti menyebutkan, planet HIP13044b sendiri relatif dekat ke bintang yang ia edari. Jarak terdekat dengan mataharinya hanya 0,055 kali jarak antara Bumi dan Matahari dan hanya perlu 16 hari untuk menyelesaikan rotasi.

Adapun bintang yang menjadi mataharinya telah melewati fase raksasa merah di mana ia membengkak berkali lipat dari ukuran aslinya akibat kehabisan hidrogen. Nasib yang sama akan dialami Matahari milik kita dalam beberapa miliar tahun ke depan.

“Bintang itu juga berotasi dengan cepat,” kata Setiawan. “Satu penjelasannya adalah karena HIP13044 menelan planet-planet terdekat saat memasuki fase raksasa merah. Itu membuat bintang tersebut berputar lebih cepat lagi,” ucapnya.

Meski demikian, kata Setiawan, masih ada yang belum dapat dijelaskan bagaimana planet mengorbiti bintang yang hanya punya sedikit elemen kimia di luar hidrogen dan helium bisa terbentuk, padahal hanya sedikit material pembentuk planet yang tersedia. Sampai saat ini, hanya sedikit planet yang didapati mengorbiti bintang seperti HIP13044.

“Pembentukan planet seperti HIP13044b masih merupakan teka-teki yang masih perlu diteliti,” kata Setiawan. “Planet di sekitar bintang seperti itu pastinya terbentuk dengan cara yang berbeda dengan terbentuknya planet biasa,” ucapnya.

Danau Toba Pemusnah Manusia?

VIVAnews - Letusan Gunung Toba yang melontarkan jutaan metrik ton debu volkanik, sulfur, dan partikel-partikel lain ke atmosfir pada 74 ribu tahun yang lalu disebut-sebut menyebabkan penggelapan langit, penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan sebagian besar umat manusia.

Ternyata, dari penelitian terbaru, efek cuaca yang disebabkan letusan Toba lebih ringan dan reda relatif lebih cepat dibanding perkiraan yang dibuat oleh pada arkeolog dan klimatolog sebelumnya. Manusia yang mengalami bencana letusan Toba itu diperkirakan berhasil melewatinya dengan selamat.

Meski dari sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa letusan Toba yang kini meninggalkan danau volkanik terbesar di dunia itu menggelapkan dan membekukan dunia, menggunakan data letusan gunung Pinatubo, Filipina tahun 1991, Stephen Self, volkanologis dari Open University, Milton Keynes, Inggris dan Michael Rampino, paleobiologis dari New York University, menyatakan bahwa efek pendinginan suhu akibat letusan Toba hanya mencapai 3 sampai 5 derajat saja.

Berdasarkan data yang didapat dari situs arkeologi di India, tim antropolog University of Oxford, Inggris, yang dipimpin oleh Michael Petraglia menyebutkan bahwa manusia yang tinggal tidak jauh dari zona letusan justru malah berhasil melewati bencana tersebut dengan mudah.

Untuk mencari titik terang, tim peneliti yang dipimpin oleh Claudia Timmreck, dari Max-Planck Institute for Meteorology di Hamburg, Jerman membuat pemodelan yang mampu menggambarkan lebih realistis (meski metode ini juga memiliki beberapa kekurangan) apa yang terjadi saat Toba meletus.

Peneliti fokus ke bagaimana partikel sulfate aerosol yang terbentuk di stratosfir akibat letusan sulfur dioksida yang mengandung gas mendinginkan atmosfir dengan cara memantulkan sinar matahari. Dari data yang didapat, dan disesuaikan dengan asumsi yang sudah dibuat sebelumnya, diketahui bahwa Toba mengirimkan sekitar 850 juta metrik ton sulfur ke atmosfir. Angka ini 100 kali lebih banyak dibanding setoran gunung Pinatubo ke atmosfir.

Dari simulasi juga diketahui bahwa dampak Toba memang hanya menurunkan suhu sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius di seluruh dunia. Akan tetapi, konsentrasi sulfur tidaklah padat dan segera hilang dari stratosfir selama 2 sampai 3 tahun saja. Perubahan temperatur secara ekstrim yang terjadi di Afrika dan India hanya berlangsung selama 1 sampai 2 tahun. Di kawasan ini, di tahun pertama suhu turun 10 derajat dan 5 derajat di tahun kedua.

Menurut Timmreck, seperti dikutip dari ScienceMag, 25 November 2010, Toba juga tidak memusnahkan flora dan fauna. Namun Timmreck mengakui, kehidupan di masa-masa tersebut memang sulit.

Michael Petraglia berpendapat, Toba memang bukanlah penyebab utama anjloknya jumlah populasi manusia di era tersebut. Akan tetapi Toba membuat situasi menjadi makin parah. Langkah selanjutnya, kata Petraglia, peneliti masih harus melanjutkan hasil temuan simulasi tersebut dengan observasi langsung di kawasan sekitar Toba untuk mengetahui secara lebih akurat dampak lingkungan yang terjadi. (umi)

Samudra Baru Akan Lahir di Afrika


VIVAnews - Benua Afrika akan menjadi saksi lahirnya sebuah laut yang nantinya diperkirakan akan menjadi samudera baru. Kesimpulan ini diungkapkan oleh sejumlah peneliti dari Royal Society, kelompok ilmiah asal London, Inggris.

Semua diawali dari munculnya keretakan tanah di kawasan Ethiopia tahun 2005. Retakan yang mencapai panjang 60 kilometer itu semakin melebar, mencapai 8 meter dalam 10 hari. Padahal, dalam kondisi normal, dibutuhkan waktu sekitar 230 tahun agar keretakan mencapai lebar 8 meter.

Para geolog, yang melakukan penelitian di Afar, sebuah kawasan terpencil di Ethiopia menyebutkan, retakan ini nantinya akan memecah benua Afrika menjadi dua bagian. Meski begitu, peneliti memperkirakan, terbelahnya benua Afrika ini akan terjadi dalam waktu 10 juta tahun ke depan.

“Ini merupakan hal yang luar biasa,” kata Dr Tim Wright, ketua tim peneliti, yang telah mengamati retakan di Afar selama 5 tahun terakhir, seperti dikutip dari TG Daily, 12 Desember 2010. “Benua ini kini terbelah tepat di bawah kaki kita,” ucapnya.


Retakan di kawasan tersebut disebabkan oleh dorongan bebatuan lunak yang panas, yang berasal jauh dari perut bumi. Besarnya daya dorongan tersebut membuat permukaan tanah di atasnya menjadi merekah.

Yang jadi masalah, sampai saat ini, letusan bawah tanah masih terus terjadi di kawasan itu dan pada akhirnya sepotong kawasan Afrika yakni sebagian Ethopia dan Somalia akan terlepas dari benua tersebut.

Cahaya Lampu Kota Cemari Udara?


VIVAnews - Kilauan cahaya lampu kota ternyata bisa dianggap sebagai elemen yang turut mendukung pencemaran udara. Begitu hasil sebuah kesimpulan dari penelitian yang dilakukan belum lama ini.

Pasalnya, cahaya lampu kota melenyapkan molekul yang biasanya membersihkan atmosfer di malam hari. Dari hasil riset para peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ternyata cahaya lampu kota memiliki andil mencegah produksi molekul Nitrogen Oksida atau dikenal juga dengan nama radikal nitrat.

Biasanya, molekul yang terbentuk dari reaksi nitrogen dioksida dengan ozon itu, mengikat polutan udara yang berseliweran di udara, pada malam hari. Namun, kehadiran cahaya lampu kota di malam hari membuat pembentukan molekul ini terhambat sehingga memperburuk polusi udara kota di kemudian harinya.

Seperti dikutip dari situs Discovery, cahaya lampu di wilayah kota Los Angeles, begitu terang, yakni 10 ribu kali lebih gelap dari cahaya sinar matahari. Namun, ternyata terangnya lampu kota Los Angeles bisa memotong pembersihan udara oleh Nitrogen Oksida, hingga 7 persen.

Akibatnya, pembersihan udara di malam hari mendapat hambatan. Riset mengungkapkan bahwa cahaya lampu kota Los Angeles yang 25 kali lebih terang dari sinar bulan, meningkatkan unsur kimia polutan kota itu sepanjang hari hingga 5 persen.

Menurut Anne Douglas, Goddard Space Flight Center di Maryland, polutan yang banyak menjadi sorot perhatian adalah partikel dan ozon permukaan yang diproduksi oleh bahan kimia. "Anda membutuhkan sinar matahari untuk membuat reaksi kimia ini terjadi. Jadi, biasanya hal ini tidak terjadi pada malam hari," kata Douglass.

Hal senada dikatakan oleh Dr. Harald Stark, pemimpin riset dari NOAA. Menurutnya selama siang hari, tidak terjadi pembersihan ozon oleh radikal nitrat. Pada malam hari, radikal nitrat baru muncul, bereaksi dengan polutan dan membersihkannya," kata dia.

Sayangnya, para peneliti khawatir mengubah jenis lampu kota tak akan menolong banyak untuk menghindari masalah ini. Selama ini di penduduk Los Angeles mayoritas menggunakan lampu jenis high-pressure sodium dan metal halida. "Saya pikir kebijakan untuk mengganti jenis lampu bisa memecahkannya," kata Stark.

Kecuali, dia melanjutkan, kota menggunakan lampu warna merah, lampu yang tidak akan mengganggu pembentukan radikal nitrat ini.

Selasa, 21 Desember 2010

Tikus Mutan Dapat Bernyanyi Seperti Burung

VIVAnews - Sekelompok ilmuwan di Universitas Osaka memodifikasi gen pada tikus yang rentan pada mutasi pada proyek mereka yang bernama Evolved Mouse Project. Hasilnya?

"Mutasi merupakan kekuatan untuk mendorong evolusi. Kami telah melakukan persilangan genetika pada tikus untuk melihat apa yang akan terjadi," kata pemimpin peneliti itu, Arikuni Uchimura seperti dikutip dari laman The Telegraph.

Tim ini lalu memeriksa setiap tikus yang lahir dari hasil persilangan tersebut. "Satu hari, kami menemukan tikus yang bernyanyi seperti burung," Arukuni. Dia mengkau sangat terkejut dengan penemuan itu karena dia berharap adanya tikus yang memiliki fisik berbeda.

Dia mencatat bahwa 'tikus bernyanyi' itu lahir secara kebetulan tetapi sifat akan diwariskan ke generasi mendatang.

Laboratorium yang dikomandoi Takeshi Yagi, profesor di universitas yang terletak di Jepang bagian barat ini sekarang memiliki lebih dari 100 'tikus bernyanyi' untuk penelitian lebih lanjut.

Tim peneliti ini berharap menemukan petunjuk bagaimana manusia berevolusi bahasa, seperti penelitian di berbagai negara yang meneliti burung pipit untuk membantu mereka memahami asal-usul bahasa manusia.

"Studi terhadap tikus lebih baik karena tikus adalah mamalia dan lebih dekat pada manusia dilihat dari struktur otak dan aspek biologis lainnya," kata Arikuni.

"Kami melihat bagaimana tikus yang mengeluarkan suara baru akan mempengaruhi tikus biasa dalam kelompok yang sama ... dengan kata lain jika memiliki konotasi sosial," katanya, seraya menambahkan bahwa tikus mencicit sudah biasa, terutama di bawah stres. (umi)

Apel Langka Diduga Hasil Mutasi


VIVAnews - Sebuah apel langka ditemukan di sebuah lahan pertanian Colaton Raleigh, Devon, Inggris. Diduga hasil mutasi, warna apel itu terbagi tepat setengah hijau dan setengah merah.

Morrish, 72, adalah petani yang menanam apel itu mengatakan,"Ini luar biasa. Seperti melihat potongan apel merah dan hijau yang kemudian disatukan," kata dia.

Seperti dikutip dari laman Daily Telegraph, kemarin, Morrish bermaksud mengambil beberapa apel untuk saudara iparnya saat dia melihat apel aneh itu.

Para ahli di sana yakin kalau apel aneh itu langka hanya ada satu dari jutaan apel. Dalam kondisi apel seperti ini, bagian apel merah biasanya lebih manis dibandingkan sisi yang hijau karena sisi merah diterpa matahari lebih banyak saat tumbuh.

John Breach, Direktur British Independent Fruit Growers Association, mengaku belum pernah melihat kasus langka seperti itu. "Ini hasil mutasi yang ekstrim," kata dia.

Jim Arbury, pakar buah, mengatakan apel dengan warna tepat setengah merah dan setengah hijau itu mungkin merupakan hasil mutasi genetika yang random. "Ini dikenal sebagai chimera dimana satu dari dua sel pertama tumbuh berbeda."

Kamis, 16 Desember 2010

Satelit Voyager Dekati Batas Tata Surya


VIVAnews - Satelit yang paling jauh dari bumi, Voyager 1 saat ini telah menempuh perjalanan yang begitu panjang. Setelah 33 tahun melayang di luar angkasa, dilaporkan Voyager 1 telah mendekati pinggiran dari sistem tata surya kita.

Badan penerbangan dan antariksa AS NASA mengumumkan setelah menempuh sekitar 11 miliar mil (sekitar 17,4 miliar km) dari matahari, kini Voyager 1 hampir melampaui jarak antar bintang.

Kini satelit yang diluncurkan sejak 5 September 1977 telah mencapai suatu tempat di sistem tata surya kita, di mana tidak ada angin surya (partikel bermuatan yang mengalir dari matahari).

Seperti dikutip dari BBC, peneliti proyek Voyager Edward Stone mengatakan bahwa satelit ini diluncurkan ketika era antariksa baru berumur 20 tahun. "Jadi saat itu masih belum diketahui bahwa pesawat luar angkasa itu bisa bertahan begitu lama," kata Stone.

Saat itu manusia sama sekali tidak mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk keluar dari sistem tata surya kita. Tapi, sekarang para ilmuwan memperkirakan bahwa Voyager 1 akan melampaui tata surya sekitar lima tahun lagi.

Sebenarnya, tujuan awal dari Voyager adalah untuk meneliti planet-planet luar seperti Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Tugas itupun telah dituntaskan oleh Voyager pada 1989. Tapi kemudian NASA mengutus Voyager 1 untuk terus mengarungi angkasa luar menuju pusat galaksi Bima Sakti.

Dibekali dengan paket tenaga radioaktif, instrumen milik Voyager masih terus berfungsi dengan baik dan terus mengirimkan datanya ke bumi. Dengan jarak miliaran km, pesan radio dari instrumen Voyager membutuhkan waktu sekitar 16 jam untuk sampai ke bumi.

Menurut Stone, instrumen Voyager yang memonitor angin surya di lokasi tersebut menangkap fenomena yang lain dari biasanya. Pada sistem tata surya kita terdapat wilayah heliosfer di mana, angin surya memancar dengan kecepatan supersonik.

Namun, setelah angin surya melampaui daerah bernama termination shock, kecepatannya akan melambat secara dramatis. Nah Voyager telah mencapai kondisi di mana kecepatan angin surya melambat hingga hampir nol.

Voyager masih terus mengarah ke daerah yang bernama heliopause, di mana secara 'resmi' merupakan daerah perbatasan antara tata surya kita dengan sistem surya lain. "Saat Voyager melewatinya, maka ia akan berada di ruang antarbintang.

Voyager terus bergerak ke arah heliopause dengan kecepatan 17 km per detik. "Itulah Voyager, pesawat luar angkasa yang telah bekerja selama 33 tahun, ia masih menunjukkan kepada kita hal lain yang benar-benar baru," kata Rob Decker, Voyager Low-Energy Charged Particle Instrument co-investigator.